Saturday, April 4, 2015

Dugderan

DUGDERAN


Dugderan adalah sebuah tradisi masyarakat kota Semarang yang diselenggarakan untuk menandai awal bulan Ramadhan dan mengumumkannya pada semua warga. Kata “dugderan” sendiri berasal dari suara bedug yang ditabuh (dug) dan dilanjutkan dengan suara meriam (der). Namun seiring perkembangan zaman, sekarang ini dugderan tidak lagi menggunakan meriam, tetapi menggunakan petasan.

Sejarah Dugderan

Tradisi dugderan dimulai saat terjadi perselisihan antar warga mengenai kapan tepatnya bulan Ramadhan dimulai. Akhirnya, pada tahun 1881, Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat mengambil inisiatif dengan menentukan mulainya bulan puasa. Caranya adalah dengan mengadakan upacara di halaman Kabupaten dan dilanjutkan dengan membunyikan bedug di Masjid Agung Semarang dan meriam masing-masing tiga kali. Berakhirlah perselisihan warga kota Semarang dan lama-kelamaan upacara ini menjadi tradisi tahunan di kota Semarang.

Warak Ngendog

Bagi yang pernah mendatangi atau melihat acara dugderan, pasti tidak asing dengan Warak Ngendog. Warak Ngendog adalah sejenis binatang rekaan yang dalam tradisi Dugderan akan diarak oleh rombongan.
Warak Ngendog menggambarkan hewan dari 3 etnis, yaitu etnis Cina, Arab, dan Jawa. Bentuk kepala naga menggambarkan etnis Cina. Bentuk tubuhnya yang menyerupai  buraq menggambarkan etnis Arab, dan kakinya yang menyerupai kaki kambing menggambarkan etnis Jawa.
Kata “Warak Ngendog” sendiri diambil dari bahasa Arab, yaitu “Wara’i” yang berarti suci dan dari bahasa Jawa, yaitu “Ngendog” yang berarti bertelur. Secara harfiah, warak ngendok dapat diartikan setelah kita berpuasa menahan hawa nafsu selama bulan Ramadhan, di akhir bulan nanti kita akan mendapat balasan berupa pahala. Selain itu, kata “ngendog” juga diambil dari kebiasaan masyrakat yang meletakkan sebutir telur di sela-sela kaki warak ngendog yang dijual. Akhirnya timbul sebutan warak ngendog.
Bentuk Warak Ngendog yang unik ini konon katanya menggambarkan sifat warga Semarang. Bentuk tubuh Warak Ngendog lurus, hal ini menggambarkan bahwa warga Semarang selalu terbuka dan berbicara apa adanya. Selain itu, Warak Ngendog juga menggambarkan pencampuran akulturasi budaya dan etnis.

Selain Warak Ngendog, masyarakat juga tertarik dengan berbagai macam benda yang dijual dalam acara Dugderan. Seperti kerajinan tangan (gerabah, celengan), makanan, minuman, dan berbagai macam mainan yang unik.

   

No comments:

Post a Comment