Friday, April 17, 2015

Pesta Bakar Batu

PESTA BAKAR BATU

Pesta Bakar Batu atau barapen adalah sebuah upacara adat yang berasal dari wilayah Papua. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan nikmat yang telah mereka dapatkan. Selain itu, upacara Pesta Bakar Batu ini juga dapat dilakukan dalam rangka berbelasungkawa untuk anggota keluarga yang telah meninggal. Pesta Bakar Batu dilakukan dalam tiga tahap yaitu persiapan, bakar babi, dan makan bersama.

Pelaksanaan

http://www.rajaampatdoberai.com/wp-content/uploads/2015/03/Bakar-Batu-di-Papua.jpg
Tahap persiapan hampir seluruhnya dikerjakan oleh laki-laki. Mulai dari pencarian batu dan kayu yang akan digunakan untuk memasak. Namun, batu dan kayu ini tidak boleh ditumpuk begitu saja. Batu dan kayu ini harus disusun dengan urutan yang sudah ada. Batu-batu berukuran besar di bagian yang paling bawah, di atasnya diletakkan kayu, di atas kayu diletakkan batu lagi, dan begitu seterusnya hingga sampai di pucuk dengan kayu yang paling atas. Setelah tumpukannya selesai, kemudian dibakar hingga kayunya habis terbakar dan batu menjadi panas.
Para perempuan akan mempersiapkan bahan masakan yakni babi. Setiap suku akan menyerahkan babi untuk dimasak dan dimakan bersama, selanjutnya setiap ketua suku akan bergiliran memanah babi. Jika dalam sekali panah babi langsung mati, diyakini bahwa upacara Pesta Bakar Batu akan berjalan lancar. Namun bila babi tidak langsung mati, dipercay
a bahwa akan ada sesuatu yang tidak beres dengan upacara tersebut.
Penyerahan babi kalau dalam rangka berbelsungkawa berbeda lagi. Keluarga yang sedang berduka tersebut akan menyerahkan babi sebagai tanda berbelasungkawa mereka. Jika tidak menyerahkan babi, mereka akan menyerahkan rokok kretek, gula, garam, tembakau, ikan asin, minyak goreng, dan kopi.
http://www.thejakartapost.com/files/images2/p21-arolling.img_assist_custom-512x341.jpg
Kelompok laki-laki yang lain mempersiapkan lubang yang akan digunakan untuk memasak bahan masakan. Lubang tersebut ukurannya disesuaikan dengan bahan makanannya. Kemudian, di dasar lubang diletakkan alang-alang dan daun pisang. Di atasnya, diletakkan batu yang sudah dipanaskan tadi. Meletakkan batu ini harus menggunakan alat bernama apando, yakni jepit yang terbuat dari kayu. Batu-batu tersebut dilapisi lagi dengan alang-alang baru kemudian di atasnya dimasukkan daging babi. Kemudian daging tersebut ditumpuk dengan dedaunan dan batu membara. Setelah itu dilapisi rerumputan yang tebal.
Ternyata proses peletakan makanannya belum selesai. Di atas rerumputan yang tebal itu, diletakkan sayur mayur yang juga diselingi dengan rerumputan dan batu membara. Terakhir, lubang ditutupi dengan tanah yang bertujuan agar panas dari batu tidak cepat menguap. Ribet ya.
Bahan makanan tadi dimasak kira-kira 60 hingga 90 menit. Setelah dimasak dan dibumbui, akhirnya makanan siap disantap oleh masyarakat. Orang yang pertama kali mendapat jatah makanan adalah sang kepala suku. Kemudian semua orang mendapat jatah yang sama banyaknya, baik itu laki-laki, perempuan, muda, tua.
Upacara Pesta Bakar Batu ini merupakan ajang untuk mempererat tali persaudaraan satu sama lain. Tak heran jika masyarakat pedalaman Papua sangat menantikan upacara ini dan rela mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Sebab hasil yang mereka dapatkan di akhir upacara ini juga setimpal dengan yang mereka keluarkan.

Saturday, April 4, 2015

Tradisi Lompat Batu

TRADISI LOMPAT BATU DI NIAS, SUMATRA UTARA

Tradisi Lompat Batu, Fahombo, atau Hombo Batu adalah sebuah tradisi yang dilakukan di daerah Nias, Sumatra Utara. Tradisi ini dilakukan sebagai upacara pendewasaan para pemuda suku Nias. Siapa yang berhasil melakukan Hombo Batu, maka ia akan dianggap sebagai pemuda dewasa dan telah siap untuk menikah.

Tata Cara Lompat Batu

Anak-anak suku Nias berlatih lompat batu sejak umur 7 tahun. Mereka berlatih dengan menggunakan tali, yang ketinggiannya semakin lama semakin bertambah. Walaupun begitu, tidak semua anak laki-laki suku Nias bisa melompati batu yang sesungguhnya. Hanya anak-anak tertentu saja yang bisa lulus dari upacara ini. Masyarakat Nias percaya bahwa keberhasilan seorang anak berasal dari faktor genetika dan unsur magis dari leluhur mereka.
Seorang pemuda Nias yang dianggap sudah cukup umur akan mencoba melompati tembok batu setinggi 2 meter lebih dengan ketebalan sekitar 90 cm dan panjang 60 cm. Sebelum melompat, akan ada batu kecil yang dijadikan batu pijakan sebelum melenting tinggi melewati tembok. Dulu, sebagai ujian para prajurit, di atas tembok bahkan diberi paku dan bambu runcing. Namun sekarang tidak lagi. Selain memerlukan teknik melompat yang baik, para pelompat juga dituntut memiliki teknik mendarat yang baik pula. Karena jika tidak bisa mendarat dengan baik, resiko berupa cedera otot, patah tulang, bahkan kematian dapat terjadi.
 

Sejarah Lompat Batu

Pada awalnya, tradisi Lompat Batu bukanlah sebuah upacara adat. Dulu, sering sekali terjadi perang antarsuku di pulau Nias. Masing – masing suku membuat benteng pertahanan berupa tembok setinggi 2 meter lebih. Para prajurit dari desa lain secara otomatis harus bisa melompati tembok tersebut tanpa menyentuh ujungnya sama sekali. Hingga akhirnya para pemimpin suku mengharuskan setiap pemuda yang akan menjadi prajurit harus diseleksi dengan melompati batu setinggi 2 meter. Apabila pemuda tersebut berhasil, maka ia akan menjadi prajurit yang membela sukunya.
Saat ini sudah tidak pernah lagi terjadi perang antarsuku di Nias. Oleh karena itu, masyarakat mengubah acara ini menjadi upacara pendewasaan bagi para pemuda suku.

Upacara Lompat Batu memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Nias. Apabila seorang pemuda berhasil, maka bukan ia saja yang berbangga. Keluarganya pun turut berbangga dan biasanya mereka menggelar pesta syukuran dengan menyembelih beberapa hewan ternak.

Fahombo hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Para perempuan dilarang keras mencoba melakukan fahombo. Hal ini dikarenakan para pelompat akan dijadikan pemimpin suku dan pelindung suku apabila terjadi konflik. Oleh karena itu diperlukan seorang pemuda dengan kekuatan fisik untuk melindungi sukunya.

Dugderan

DUGDERAN


Dugderan adalah sebuah tradisi masyarakat kota Semarang yang diselenggarakan untuk menandai awal bulan Ramadhan dan mengumumkannya pada semua warga. Kata “dugderan” sendiri berasal dari suara bedug yang ditabuh (dug) dan dilanjutkan dengan suara meriam (der). Namun seiring perkembangan zaman, sekarang ini dugderan tidak lagi menggunakan meriam, tetapi menggunakan petasan.

Sejarah Dugderan

Tradisi dugderan dimulai saat terjadi perselisihan antar warga mengenai kapan tepatnya bulan Ramadhan dimulai. Akhirnya, pada tahun 1881, Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat mengambil inisiatif dengan menentukan mulainya bulan puasa. Caranya adalah dengan mengadakan upacara di halaman Kabupaten dan dilanjutkan dengan membunyikan bedug di Masjid Agung Semarang dan meriam masing-masing tiga kali. Berakhirlah perselisihan warga kota Semarang dan lama-kelamaan upacara ini menjadi tradisi tahunan di kota Semarang.

Warak Ngendog

Bagi yang pernah mendatangi atau melihat acara dugderan, pasti tidak asing dengan Warak Ngendog. Warak Ngendog adalah sejenis binatang rekaan yang dalam tradisi Dugderan akan diarak oleh rombongan.
Warak Ngendog menggambarkan hewan dari 3 etnis, yaitu etnis Cina, Arab, dan Jawa. Bentuk kepala naga menggambarkan etnis Cina. Bentuk tubuhnya yang menyerupai  buraq menggambarkan etnis Arab, dan kakinya yang menyerupai kaki kambing menggambarkan etnis Jawa.
Kata “Warak Ngendog” sendiri diambil dari bahasa Arab, yaitu “Wara’i” yang berarti suci dan dari bahasa Jawa, yaitu “Ngendog” yang berarti bertelur. Secara harfiah, warak ngendok dapat diartikan setelah kita berpuasa menahan hawa nafsu selama bulan Ramadhan, di akhir bulan nanti kita akan mendapat balasan berupa pahala. Selain itu, kata “ngendog” juga diambil dari kebiasaan masyrakat yang meletakkan sebutir telur di sela-sela kaki warak ngendog yang dijual. Akhirnya timbul sebutan warak ngendog.
Bentuk Warak Ngendog yang unik ini konon katanya menggambarkan sifat warga Semarang. Bentuk tubuh Warak Ngendog lurus, hal ini menggambarkan bahwa warga Semarang selalu terbuka dan berbicara apa adanya. Selain itu, Warak Ngendog juga menggambarkan pencampuran akulturasi budaya dan etnis.

Selain Warak Ngendog, masyarakat juga tertarik dengan berbagai macam benda yang dijual dalam acara Dugderan. Seperti kerajinan tangan (gerabah, celengan), makanan, minuman, dan berbagai macam mainan yang unik.