DUGDERAN
Dugderan adalah sebuah tradisi masyarakat kota
Semarang yang diselenggarakan untuk menandai awal bulan Ramadhan dan
mengumumkannya pada semua warga. Kata “dugderan” sendiri berasal dari suara
bedug yang ditabuh (dug) dan dilanjutkan dengan suara meriam (der). Namun
seiring perkembangan zaman, sekarang ini dugderan tidak lagi menggunakan
meriam, tetapi menggunakan petasan.
Sejarah Dugderan
Tradisi dugderan dimulai saat terjadi perselisihan
antar warga mengenai kapan tepatnya bulan Ramadhan dimulai. Akhirnya, pada
tahun 1881, Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat mengambil inisiatif dengan
menentukan mulainya bulan puasa. Caranya adalah dengan mengadakan upacara di
halaman Kabupaten dan dilanjutkan dengan membunyikan bedug di Masjid Agung
Semarang dan meriam masing-masing tiga kali. Berakhirlah perselisihan warga
kota Semarang dan lama-kelamaan upacara ini menjadi tradisi tahunan di kota
Semarang.
Warak Ngendog
Bagi yang pernah mendatangi atau melihat acara
dugderan, pasti tidak asing dengan Warak Ngendog. Warak Ngendog adalah sejenis
binatang rekaan yang dalam tradisi Dugderan akan diarak oleh rombongan.
Warak Ngendog menggambarkan hewan dari 3 etnis, yaitu
etnis Cina, Arab, dan Jawa. Bentuk kepala naga menggambarkan etnis Cina. Bentuk
tubuhnya yang menyerupai buraq
menggambarkan etnis Arab, dan kakinya yang menyerupai kaki kambing
menggambarkan etnis Jawa.
Kata “Warak Ngendog” sendiri diambil dari bahasa Arab,
yaitu “Wara’i” yang berarti suci dan dari bahasa Jawa, yaitu “Ngendog” yang
berarti bertelur. Secara harfiah, warak ngendok dapat diartikan setelah kita
berpuasa menahan hawa nafsu selama bulan Ramadhan, di akhir bulan nanti kita
akan mendapat balasan berupa pahala. Selain itu, kata “ngendog” juga diambil
dari kebiasaan masyrakat yang meletakkan sebutir telur di sela-sela kaki warak
ngendog yang dijual. Akhirnya timbul sebutan warak ngendog.
Bentuk Warak Ngendog yang unik ini konon katanya
menggambarkan sifat warga Semarang. Bentuk tubuh Warak Ngendog lurus, hal ini
menggambarkan bahwa warga Semarang selalu terbuka dan berbicara apa adanya.
Selain itu, Warak Ngendog juga menggambarkan pencampuran akulturasi budaya dan
etnis.
Selain Warak Ngendog, masyarakat juga tertarik dengan
berbagai macam benda yang dijual dalam acara Dugderan. Seperti kerajinan tangan
(gerabah, celengan), makanan, minuman, dan berbagai macam mainan yang unik.
No comments:
Post a Comment